Cerpen Kasmad Bachtiar
Wanita di Bis
Perkenalanku dengannya berawal ketika kami sama-sama
menumpang sebuah bis malam. Aku sebenarnya berada di tempat duduk
sebelahnya. Perjalanan diwarnai dengan hujan yang amat deras.
Percikan-percikan air hujan dari atas atap mobil lewat ventilasi
mengenaku. Hal ini memaksaku kadang berdiri dari tempat dudukku sambil
memeriksa keadaan. Kulihat barang bawaanku, sebuah kardus kecil yang
kutaruh dilantai dekatku, juga kena percikan air.
Laju mobil membelah malam . Penumpang umumnya terdiam masing-masing
ditempat duduknya. Ada yang tidur-tiduran, ada yang merokok sambil
menikmati alunan musik. Tinggal Aku sendiri yang semakin gelisah.
” Sial…” Begitu pikirku. Aku menyalahkan diriku sendiri yang memilih
duduk di bawah ventilasi. Seorang kondektur mungkin memperhatikanku
datang memeriksa. Rupanya sumber percikan itu dari ventilasi yang tidak
tertutup rapat. Setelah semuanya beres, dia pun minta maaf lalu
meninggalkanku.
” Basahkah ? “, Sebuah suara menegurku. Aku mengiyakan sambil memandang
kearahnya. Rupanya seorang perempuan yang lagi duduk sendirian. Dia lalu
menawarkan agar Aku pindah tempat saja.
Tanpa pikir panjang lagi, Aku segera beranjak menuju tempat duduk yang
ditawarkan. Lalu berkenalan dengannya sambil tanya-tanya. Bermula dari
pertanyaan yang ringan. Tanya nama, alamat, tujuan kemana dan
seterusnya.
Sepanjang perbincangan, kami merasa kalau perempuan ini cukup luwes.
Kami semakin akrab saja. Kadang Aku mencuri pandang ingin tahu seperti
apa wajahnya. Cukup cantik juga. Begitu Aku menilainya.
Lampu dalam ruangan mobil mulai dipadamkan. Itu berarti waktu sudah
mendekati jam 10 atau lewat jam 10. Sedikit pun tak ada tanda hujan
segera reda. Cuaca dingin semakin menggigit. Kucoba menggerakkan tubuhku
agak rapat ke perempuan disampingku. Terasa hangat kini. Tak ada reaksi
sedikitpun darinya. Mungkin dia juga merasakan cuaca dingin. Kulihat
tangannya sedang sibuk mengutak-atik hpnya.
” Oh..ya, suami kamu dimana ?”. Tanyaku sekedar memastikan apa sudah bersuami atau belum.
” Surabaya “, jawabnya singkat. Kedengarannya agak ragu. Hatiku bergetar juga setelah tahu kalau dia benar sudah bersuami.
” Tak ikut kesana ? “, tanyaku ?
” Aku baru pulang dari Surabaya. Satu bulan disana “
” Punya anak berapa sekarang ?”
” Belum. Aku baru setahun menikah, ” jawabnya.
Pikiranku mulai menerka-nerka tentang sosok disampingku Mungkinkah dia
kesepian karena suami tak bersamanya ?. Apalagi belum punya anak.
” Mas sendiri punya anak berapa ?.” Tanyanya.
” Satu. Tapi keluargaku tidak bersamaku juga. Aku kadang-kadang saja pulang. Kadang sebulan, bahkan lebih. ” Jawabku.
” Sama dong dengan Aku”. Katanya sambil tertawa kecil. Aku ikut tertawa
sambil berani memukul pelan pahanya. Dia tidak melarangku atau
memperingatiku. Aku ingin lebih berani lagi. Tapi dadaku berdetak
kencang. Aku ragu. Nyaliku ciut juga.
Kuawasi disekitarku. Semunya tenang. Sebagian besar sudah molor. Pantas
saja. Waktu sudah jauh malam. HP kumasukkan kembali kedalam saku setelah
mengecek jam.
Suasana bertambah sepi. Setelah suara dari tape recorder ikut di matikan pak sopir.
Perbincangan kami berlanjut. Kami berdua merasa seperti teman lama yang
bari ketemu. Tak ada perasaan ragu-ragu. Lupa kalau kami baru saja
berkenalan.
Ira, begitu nama perempuan tersebut biasa dipanggil, lebih banyak
bercerita tentang keluarganya. Tentang adik-adiknya yang semua laki-laki
yang sudah pada menikah dan sangat jarang ketemu. Tentang mamanya yang
tinggal berpisah dengannya, Dan banyak lagi. Bahkan kebiasaannya
merantau sebelum menikah pun tak luput di ceritakan.
” Dulu, Aku pernah bekerja sebagai sales kosmetik. Pernah ke Kendari,
pernah juga ke Poso. Tapi semenjak sudah menikah, tak pernah lagi. Suami
melarangku.”
Aku hanya mengangguk pelan sambil melihat kearah jalanan yang basah.
Kulihat Ira beberap kali memperbaiki posisi duduknya. Mungkin terasa
capek karena menempuh perjalanan panjang. Aku pun melakukan hal yang
sama. Agak rapat lagi.
Tak terasa waktu sudah hampir subuh. Alunan Ayat Suci AlQuran dari tiap
mesjid yang di lalui mulai terdengar. Tak lama lagi kota tujuan,
Makassar, semakin dekat. Itu berarti penumpang satu demi satu akan
turun.
Demikian halnya denganku. Saatnya berpisah dengan Ira. Sebelumnya tak lupa kami saling bertukar nomor handphone.
” Suatu saat hubungi aku. ” Kataku sebelum turun sambil bersalaman.
Kugenggam erat-erat tangannya. Dia tak bersuara. Hanya tersenyum
mengangguk. Ada rasa kasihan terhadapnya. Kubayangkan kembali bagaimana
rasa sepi bila ditinggal jauh sang suami dan masih belum punya anak.
————–
Entah yang kesekian kalinya HP-ku terus
berdering. Kulihat nama peneleponnya. Oo…oo… Rupanya Ira, yang beberapa
minggu lalu bersamaku di bis.
Kucoba untuk menghubungi kembali. Selang waktu kemudian, mulai terdengar suara mungilnya.
” Lagi ngapain sekarang ?” Tanyaku memulai pembicaraan.
” Tidak. Aku cuma mau dengar suara kamu.” Jawabnya
” Oh.. ya.. ?”.
” Aku minta maaf dan mau jujur sama kamu. Sebenarnya suamiku ada bersamaku. Bukan di Surabaya.”
” Hmmm…. Terus…!!”
Aku sudah punya anak satu, dari suamiku yang pertama. Tapi dia meninggal ketika usia perkawinan kami menjelang tiga tahun.”
Kudengar jelas tarikan nafasnya diujung telingaku. Aku hanya diam ingin mendengarkankan kelanjutan ceritanya.
” Yang sekarang ini, suamiku yang kedua. Kami baru setahun menikah.” Jelasnya.
” Dengan siapa kamu di situ ?”. Tanyanya
” Aku sendiri” Jawabku singkat.
” Tak ada orang lain kan ?”. Tanyanya sekali lagi ingin memastikan.
” Tak ada…..” Suaraku agak tinggi.
Kedengarannya dia tampak puas, setelah tahu kalau benar aku cuma sendiri.
” Aku tidak mau kalau ada orang lain di
situ. Karena ada hal yang ingin aku katakan sama kamu. Sebenarnya ini
masalah yang sangat pribadi sekali.”
“Tak apa-apa. Katakan saja.” Jawabku meyakinkan
” Benar aku telah dua kali bersuami, tapi sekali pun tak pernah aku rasakan, yang kata teman-temanku sampai puncak.”
” Ah…masa’ ?…. Tak masuk akal”. Protesku
” Iya…”
” Kamu sudah punya anak kan ?”
” Memang sudah punya. Tapi katanya orang, kita bisa saja hamil walaupun tidak merasakan kenikmatan” sanggahnya.
” Lalu apa yang kamu rasakan ” Tanyaku selidik
” Cuma rasa sakit”
Sampai disitu, kami semua pada diam. Aku tak
tahu lagi harus bertanya apa. Aku tak punya pengetahuan tentang
hal-hal demikian. Aku bukan Ahli seperti Dr. Boyke. Yang aku bisa
hanyalah mendengarkan kisahnya, tapi tak mampu memberikan masukan atas
masalahnya. Kecuali sebatas prihatin semata.
Mataku menerawan jauh. Mencoba kembali
mengingat semua ucapannya. 1001 macam pertanyaan di benakku. Benarkah
ada orang lain yang mengalami hal seperti ini ?. Bila hal ini terjadi,
apakah perempuan tersebut di kategorikan sebagai wanita malang ?.
Hubungan kami tetap berlanjut. Walaupun
hanya lewat jalur telepon. Kerapkali permasalahannya disampaikan ulang
kepadaku. Kucoba menghibur atau mengalihkan ke pembicaraan lain. Kadang
Aku membuat lelucon agar dia tertawa. Oh…..Wanita di bis, Wanita yang
malang………..